Sabtu, 04 Juli 2015

Hujan bulan Juni, Lebaran bulan Juli

Hujan bulan Juni, Lebaran bulan Juli bagai dua samudera yang menyatu
Hanya saja hujan bulan juni adalah bulannya rindu
Merindukan sepasang kaki yang kerap sibuk mengejar pelangi
Dua bola mata yang menyiratkan lautan kasih
Jemari mungil yang senantiasa mendekapku dengan do’a
Sepasang daun telinga yang tak ada pegalnya mendengar segala dongengku
Aku merindukan segalamu
Dari yang tampak oleh mata atau bahkan tidak
Hati, dunia megah yang tersimpan pada jiwa yang kau rawat selama ini
Aku begitu merindukannya
Berkatnya aku benar-benar merasa hidup
Sebab kau tau apa?
Terlampau jauh sudah aku melangkah
Tanpa punya satupun penunjuk arah
Aku lupa caranya menepi lalu berdamai dengan diri
Hingga akhirnya aku coba berhenti lalu memberanikan menepi
Tak pernah ku jumpai terowongan tabah seperti milikmu
Damai nan indah
Layaknya kota tanpa caci-maki

Sementara,
Lebaran bulan Juli nanti
Teruslah disini,
Temani
Dampingi
Iringi
Jangan lelah dan jangan berhenti
Karena jalan kemenangan kita yang begitu hakiki
Andai bisa bersama
Mengapa kita harus saling sendiri?
Aku sudah bosan bergulat dengan sepi
Menanggalkan cinta dan rindu dengan kebisuan
Rayakanlah denganku, Tuan
Sebab, Hujan bulan Juni, Lebaran bulan Juli mungkin akan menjadi sepasang gumpalan awan cantik yang berarak menuju lembaran baru
Dimana jiwa yang gersang mulai hijrah menjadi jiwa yang lapang
Yang menyisakan ruang pemaafan pada dada yang kerap sesak akibat dunia
Menjadi kokoh tak tertandingi bukanlah kodrat nyata, itu hanya bualan
Kita hanya sebatas hamba yang terlahir tanpa bisa memilih dari rahim siapa
Pecahan beling kesakitan yang membuat dinding-dinding jiwa nelangsa
Ada yang menahan tangisnya lewat tawa
Ada yang mengenang kebahagiaan dengan secarik lembar potret usang
Ada pula yang menuangkan rindu pada do'a
Sebab kita pun tau bahwa muara dari segala rindu dan tawa adalah doa
Iya do'a yang tercatat di langit selamanya.

Kita kerap merindukan pelangi kala hujan reda
Lalu kita menunggunya sembari mendongak ke langit-langit semesta hanya untuk sejenak beranjak dari kekalutan
Kemana kebahagiaan yang dulu ada?
Pertanyaan memuakkan yang hingga kini masih menjadi favorit setiap manusia
Selanjutnya kita menyalahkan waktu yang melaju hebat tanpa peduli kita bahagia atau tidak
Waktu memang enggan menunggumu menikmati bahagia
Sebab ia tau kau akan terbius pada kemunafikan dunia
Tapi waktu tetaplah waktu
Ia adalah sebaik- baiknya harta yang kita punya
Perihal kelak waktu menuai surga atau tidak, entahlah

Aku tau tentang dongengmu dimasa baheula
Tentang langkah gontaimu yang tak berarah meringkihkan tubuh tegapmu
Aku tau sakitmu diluar duga
Pada segala yang kau harapkan kembali
Padamu cepatlah berlabuh ke tepian baru
Tepian yang belum pernah kau sambangi
Barang menerka seujung pilu yang kelak pasti sirna jua
Mari beriringan denganku
Kita buat jejak baru
Tentang sajak yang tiada ujungnya
Tentang menguak isi kepala via aksara
Hanya dengan begitu, mungkin besok, lusa atau kapanpun itu kita dapat menyemai kenangan lewat tulisan

Gelak tawa menyadarkan
Aku tidak sedang melambungkan canda
Tapi, mengapa mereka tertawa?
Aku sudah gila, begitu katanya
Aku memang terlahir menjadi si buta
Iya buta bahagia
Denting jarum jam yang bergulir aku sibukkan dengan mengeja
Entah mengeja rindu atau bahkan kecewa

Kini aku bernafas pada lautanmu
Yang deras kasihnya tak terkira
Yang suhunya tak terukur berapa
Yang indah karangnya tak tergambar bagaimana
Yang tak bertepi
Sebab luasnya mungkin mengalahkan jagad raya
Aku bahagia berada disana
Perihal mereka yang sibuk tertawa
Biarlah,
Duniaku tak melulu soal cacian

Selamat bulan Juni,
Selamat meneguk basahnya rindu yang genangannya mengalahkan samudera Hindia

Selamat bulan Juli,
Selamat atas kemenangan menahan segala nafsu dan dahaga
Selamat menunaikan ibadah selepas sholat isya yang ibadahnya hanya ada kala Ramadhan tiba
Selamat menikmati kebersamaan dengan yang dicinta
Sebab, yang manis pun belum tentu sayang apalagi cinta



Tertanda,
Retno Untari Sulistyorini

Yang (masih) mencoba menguak isi kepala yang kerap terendap dalam diam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar